Syukur Alhamdulillah sampai saat ini Lembaga Ulama tidak
memberikan fatwa apa-apa tentang kopi artinya minum secangkir atau dua cangkir
kopi dalam sehari tidak was was merasa bersalah dan berdosa. Seperti halnya
rokok, bisa jadi suatu saat ada pihak-pihak yang membisikkan kepada Lembaga
Ulama agar kopi di haramkan dan tentu saja ulama yang bergabung dalam lembaga
tersebut biasanya suka mencari perhatian layaknya ABG dan senang mengeluarkan
fatwa-fatwa kontroversi yang membuat ummat seringkali kaget dan bingung.
Andai
ulama yang tergabung dalam Lembaga tersebut mengeluarkan fatwa haram minum kopi
saya akan tetap minum kopi sama halnya ketika ulama mengerluarkan fatwa haram
mengggunakan Facebook, saya tetap memakai facebook sebagai alat dakwah
menyampaikan kebenaran.
Sambil
menikmati segelas kopi yang alhamdulillah masih halal, saya ingin membahas
tentang Tuhan dengan segala misteri-Nya. Lalu apa hubungan minum segelas kopi
dengan memandang wajah Tuhan?
Alam
dan seluruh isinya adalah wujud dari cahaya Tuhan, karya Agung yang tidak
terlepas dari diri-Nya sendiri. Itulah sebabnya sebagian orang menemukan Tuhan
dari kehebatan dan keagungan Alam yang mengangumkan manusia, menyadarkan
manusia betapa Maha Hebat nya sosok di atas sana yang menciptakan alam
sedemikian teratur.
Sebagian
manusia lain menemukan Tuhan lewat filsafat dan perenungan diri. Kehebatan akal
manusia akan menuntun kepada Sang Maha Hebat yaitu sosok yang menciptakan akal
itu sendiri secara luar biasa. Descartes seorang Filosof berkata, “Aku berfikir
karena itu aku ada”, dengan pernyataannya yang terkenal itu Descartes telah
membuat sebuah prinsip yang menjadikan kesadaran berfikir sebagai parameter
bagi segala sesuatu untuk dianggap sebagai ‘ada’. Keberadaan kita didunia ini
disadarkan oleh akal, tanpa akal maka manusia tidak akan mengenal apa-apa,
tidak akan mengenal Alam, Agama dan Tuhan.
Pencarian
tentang Tuhan lewat akal kadang kala mengalami jalan buntu dan putus asa
sehingga orang yang paling cerdas pun akhirnya menyerah dan mengambil
kesimpulan bahwa Tuhan itu tidak ada. Dengan tanpa rasa bersalah Karl Mark
mengatakan bahwa Agama adalah Candu Masyarakat. Baginya, agama di zamannya
tidak lebih dari sesuatu yang hanya menawarkan kesenangan sesaat tanpa
memberikan banyak solusi berarti terhadap berbagai masalah yang sedang dihadapi
oleh masyarakatnya di zaman itu.
Dengan janji-janji surga, penebusan yang akan
segera datang, agama hanya berperan seperti candu yang memberikan kenyamanan
sesaat namun tidak pernah bisa menyelesaikan masalah apapun. Agama yang seperti
ini tentu saja hanya akan mampu mengakomodir kepentingan kelas-kelas borjuis
dan penguasa. Kelas-kelas berjuis dan penguasa pada hakekatnya sudah hidup
dengan cukup mapan dan tidak mengalami ketertindasan apapun. Oleh sebabnya,
mereka tidak lagi membutuhkan apa yang disebut dengan “hiburan semu”.
Lain
halnya jika agama ini dilihat dari kacamata mereka yang tertindas secara
ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Bagi mereka, agama ini berperan sebagai
penyelamat yang nantinya akan membebaskan mereka dari ketertindasan dan
melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang telah menindas mereka. Daripada bergulat
dengan kejamnya hidup, mereka lebih memilih untuk menyandarkan diri kepada
agama yang dinilai dapat memberikan sebuah penghiburan terhadap ketertindasan.
Karen
Amstrong bahkan dengan berani menulis buku yang sangat terkenal yaitu “History
of God”, buku yang mengupas sejarah Tuhan. Memangnya Tuhan punya sejarah? Dari
buku tersebut kita mengetahui bahwa sejarah Tuhan di setiap peradaban hampir
sama dan persepsi orang tentang Tuhan tidak terlepas dari pengaruh budaya dan
zaman dimana manusia berada.
Berbicara
tentang Tuhan, Agama adalah sumber yang paling bisa dipercaya karena tujuan
manusia beragama adalah untuk mengenal Tuhan dan menyembah-Nya sampai ajal
menjemput. Nabi Muhammad SAW bernah berkata, “Aku melihat wajah Allah dalam
rupa seorang pemuda”, dan perkataan serupa pernah dikemukakan oleh seorang
tokoh sufi Ibnu Arabi ketika tawaf di ka’bah beliau berkata, “Aku melihat Allah
dalam wajah seorang wanita”.
Dalam
Al-Qur’an disebutkan, “…dimanapun engkau memandang disitu Wajah Allah”. Lalu
bagaimana manusia bisa memandang wajah Allah di alam kalau belum pernah
mengenal dan melihat-Nya dalam Kegaiban-Nya? Disinilah diperlukan seorang
pembimbing sebagaimana Rasulullah SAW di bimbing oleh Jibril as dan Ibnu ‘Arabi
dibimbing oleh Gurunya sehingga setelah mengenal Allah dengan benar maka
dimanapun mereka memandang akan bisa menemukan wajah Tuhan disana.
Pun
tidak terkecuali ketika tulisan ini saya tulis dan ditemani oleh segelas kopi,
saya merasakan ketenangan dan kedamaian di tengah hiruk pikuk warung kopi,
ditengah riuh kendaraan lalu lalang, sayang merasakan “Sunyi dalam Keramaian”
karena saya merasakan ada getaran Tuhan hadir setiap saat kapan dan dimana
saja. Saya melihat kopi dalam gelas yang tinggal setengah, saya tersenyum
karena saya bisa memandang wajah Tuhan disana…
(By Sufi Muda)
MEMANDANG
TUHAN DALAM SEGELAS KOPI (2)
Pencarian
yang paling serius manusia sepanjang sejarah adalah pencarian Tuhan atau
mencari eksistensi Tuhan yang bisa benar-benar dikenal sehingga akan bisa
disembah dan dicintai dengan benar. Konsep Tuhan pada semua agama adalah sama,
bahwa Dia adalah pencipta seluruh alam, mengatur segalanya dan Dia ada Pemilik
Kekuatan Maha Dahsyat, kekuatan super diluar kemampuan manusia. Seluruh manusia
tanpa kecuali menyadari ada sesuatu diluar dirinya yang mempunyai kekuatan luar
biasa, kekuatan itu kemudian disebut Tuhan.
Karena
keterbatasan manusia, maka apapun gambaran tentang Tuhan merupakan hasil dari
imajinasi dan pemikirannya sehingga diseluruh dunia konsep tentang Tuhan
berbeda-beda. Di dalam Islam sendiri pemahaman tentang Tuhan juga berbeda
walaupun pada hakikatnya sama. Syariat yang merupakan hukum tertulis tentang
agama hanya bisa menjelaskan tentang “ciri-ciri” Tuhan, kita hanya bisa
diajarkan tentang nama-nama-Nya (asmaul husna), tentang sifat-sifat-Nya namun
ketika sampai pembasahan kepada Dzat Allah Yang Maha Agung, maka syariat akan
menjadi buntu. Guru-guru yang belajar agama hanya pada tataran lahiriah tidak
bisa menjelaskan kepada kita secara memuaskan tentang Dzat Allah, maka cara
yang paling mudah untuk menenangkan para murid adalah dengan argument-argumen
yang menyatakan bahwa Dzat Allah tidak boleh ditanyakan sama sekali.
Kenapa
demikian, karena memang syariat bukanlah ilmu yang bisa digunakan agar manusia
sampai kepada Dzat Allah, syariat hanya menjelaskan kepada kita tentang konsep
Ketuhanan, sifat dan namanya yang kemudian dikenal dengan ilmu Tauhid, ilmu
Meng-Esa-kan Tuhan. Ilmu yang bisa mengantarkan manusia kepada Dzat Allah
adalah ilmu tasawuf. Karena ilmu tasawuf sangat halus dan dikhawatirkan bisa
dipahami secara keliru, maka diperlukan penyambung antara ilmu syariat dan
tasawuf sebagai ilmu hakikat, penyambung itu lah ilmu tauhid.
Belajar
ilmu tauhid tanpa belajar tasawuf lewat bimbingan Guru Mursyid tidak ada
bedanya dengan belajar ilmu filsafat yang juga mengajarkan konsep Ketuhanan
yang pada akhirnya akan berujung kepada pencarian tanpa batas atau ujung.
Di
kalangan sufi, mereka tidak lagi berbicara tentang “mengenal”, tapi sudah pada
tahap jatuh cinta, rindu, mabuk akan Tuhan yang kesemua itu bisa kita baca pada
karya-karya sufi klasik seperti Abu Yazid al-Bisthami, Rabi’ah al-Adawiyah,
Jalaludin Rumi dan lain-lain. Tidak mungkin manusia bisa sampai kepada tahap
Mabuk kepada Tuhan sebelum dia benar-benar pernah meminum anggur Tuhan. Jatuh
cinta secara mendalam seperti yang diungkapkan oleh para tokoh sufi hanya bisa
terjadi pada orang yang sudah mengenal Tuhan secara sempurna, memandang
wajah-Nya dan berkomunikasi dengan mesra lewat ibadah-ibadah yang dilakukannya
setiap saat.
Bagaimana
mungkin kita bisa jatuh cinta pada sosok Abstrak yang tidak dikenal sama
sekali, pada sosok yang konon kabarnya berada di langit sana. Karena meyakini
Tuhan berada di langit barangkali yang menyebabkan manusia setiap berdoa wajahnya
memandang ke atas. Kalau kita bahas langit secara hakikat, tentu saja bukan
langit yang Nampak biru ketika siang dan hitam ketika malam, karena di langit
itu tidak ada apa-apa selain awan, bintang, planet dan galaksi.
Waktu
saya kecil, ada seorang ulama yang sangat tidak percaya bahkan menolak dengan
keras tentang kemampuan manusia sampai ke bulan. Beliau menjelaskan bahwa
langit itu ada pintu dan setiap pintu di jaga oleh malaikat dengan demikian
tidak mungkin orang kafir yang tidak pernah mengambil wudhuk bisa melawati
pintu langit yang di jaga malaikat. Setelah saya berguru kepada seorang Auliya
Allah dan melakukan suluk, baru saya paham perbedaan antara langit tempat
berada arwah para Nabi dengan langit zahir yang terlihat setiap hari. Jadi langit
7 lapis yang dimaksud oleh Nabi bukanlah langit yang terlihat.
Pencarian
Tuhan lewat akal pikiran dan perenungan hanya bisa membawa kita kepada
keyakinan bahwa Tuhan itu memang ada di dunia ini, namun untuk bisa sampai
kehadirat-Nya diperlukan seorang Master, Pembimbing yang sudah berulang kali
bolak balik kesana sehingga jalan yang kita tempuh bukan jalan keliru yang
membawa kita kepada kesesatan.
Tidak
mungkin manusia yang tercipta bisa sampai kepada Sang Pencipta, tidak
mungkin manusia yang baharu sampai kepada Allah yang Maha Qadim, kecuali lewat
bimbingan para Nabi dan Para Wali yang diberi ilmu oleh Allah unuk membimbing
manusia kejalan-Nya. Tujuan Tuhan menurunkan agama tidak lain agar manusia bisa
mengenal dan berkomunikasi sempurna dengan Allah, sehingga manusia mengetahui
dengan pasti apa sebenarnya yang dikehendaki Tuhan kepada dirinya.
Satu
hal yang harus di pahami bahwa ibadah, shalat dan lain-lain bukanlah sarana
untuk mengenal Allah, ibadah adalah sarana untuk menyembah-Nya, tentu saja untuk
bisa menyembah terlebih dahulu kita harus mengenal yang kita sembah agar
penyembahan kita tidak keliru.
Kalau
sampai hari ini di dalam ibadah kita tidak menemukan getaran Ilahi, tidak
berefek apa-apa pada jasmani dan rohani kita berarti adalah yang salah dalam
ibadah yang kita lakukan. Agama pada hakikatnya adalah ilmu eksak, ilmu pasti
bukan ilmu menduga atau mencoba-coba. Kalau Rasulullah SAW, Para sahabat bisa
akrab dengan Tuhan memakai suatu ilmu tentu saja ketika kita memakai ilmu dan
rumus yang sama maka hasilnya akan sama, itu PASTI.
Ketika
belum sampai kepada tahap PASTI, berarti kita baru belajar agama secara zahir
yang bisa dipelajari oleh siapapun karena pelajaran agama zahir merupakan
pelajaran akal pikiran yang akan hilang ketika manusia meninggal dunia. Manusia
harus meng-upgrade ilmu agamanya sehingga bukan hanya jasmaninya yang
beragama tapi juga rohani karena nanti yang kembali kepada Allah bukanlah
jasmani tapi rohani.
Ketika
manusia belum mengenal Allah, dalam ibadah formal yang sangat tenang sekalipun
dia tidak akan bisa mendapatkan apa-apa selain kekosongan dan kehampaan serta
menduga-duga bahwa dia sedang berhadapan dengan Allah.
Ketika
ilmu agamanya telah di upgrade dibawah bimbingan Guru Yang Ahli, dan ketika
kita telah mengenal Tuhan dengan sebenar kenal tanpa keraguan sedikitpun, maka
dimanapun kita bisa menjumpai-Nya, tidak hanya ketika melakukan ibadah formal
saja, ketika menghirup segelas kopi pun akan ada wajah-Nya disana….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar