Bukan sebuah kebetulan
bila kolonial Belanda mengintroduksi tanaman kopi ke bumi Nusantara. Tentu juga
bukan sebuah kebetulan bila rakyat atau petani kecil mengikuti jejak kaum
kolonial menanam kopi di pekarangan rumah ataupun di ladang-ladang mereka.
Pernyataan menggelitik itu tertera disampul belakang buku yang berjudul
‘Secangkir Kopi Meracik Tradisi’ yang diterbitkan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia beberapa waktu silam. Tiga kata: “Bukan sebuah kebetulan”, yang tercatat pada masing-masing kalimat memang bukan sebuah kebetulan belaka dihadirkan hingga dua kali. Sinopsis itu berupaya memancing setiap pembaca untuk mencari jawaban atas “Bukan Sebuah Kebetulan” kopi hadir di Indonesia dan sampai tiga abad kemudian masih bertahan atau dipertahankan.
Biji kopi pertama yang
dipetik kolonial Belanda adalah benih yang dikirimkan dari asal yang sama oleh
Hendricus Swaardecroon, seorang yang pernah menjabat sebagai komisaris VOC di
Malabar dan Gubenur Sri Langka, untuk mengantikan bibit yang dikirimkan
sebelumnya karena banjir. Benih dari Swaardecroon ini adalah benih awal yang
dipetik di Jawa kemudian menyebar ke seluruh Nusantara.
‘Secangkir Kopi Meracik Tradisi’ yang diterbitkan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia beberapa waktu silam. Tiga kata: “Bukan sebuah kebetulan”, yang tercatat pada masing-masing kalimat memang bukan sebuah kebetulan belaka dihadirkan hingga dua kali. Sinopsis itu berupaya memancing setiap pembaca untuk mencari jawaban atas “Bukan Sebuah Kebetulan” kopi hadir di Indonesia dan sampai tiga abad kemudian masih bertahan atau dipertahankan.
Secangkir Kopi Meracik
Tradisi
Kisah kopi di Nusantara
diawali oleh Andrian Van Ommen, pimpinan Belanda di Malabar India, mengirimkan
bibit kopi arabika dari Kananur Malabar ke Jawa, kemudian ditanam Gubenur
Jenderal Willem Van Outshoorn pada 1696. Tiga tahun setelah masa penanamannya,
tanaman kopi di perkebunan Kedawung Batavia digagalkan banjir. Bibit kopi yang
pertama ditanam di Nusantara ini gagal menghasilkan biji kopi.
Di masa itu Eropa telah
mengenal kopi dan menjadikannya seduhan istimewa nan eksotis dari Timur. Demam
kopi terjadi di mana-mana di tahun-tahun ini, hingga para perempuan di London
Inggris harus berkoalisi melakukan aksi protes lantaran para suami mereka yang
lebih banyak menghabiskan waktunya di café (warung kopi). Di negeri Belanda
masyrakatnya telah mengenal kopi sejak 1640 setelah para pedagang Belanda
mendatangkan kopi dari Yaman.
Komoditas kopi dari
Nusantara pertama kali diekspor melalui pelabuhan Batavia pada 1711 dengan
total ekspor 405 kilogram. Nilai ekonomis dari komoditas ini mampu memberikan
pemasukan yang besar bagi kas kerajaan Belanda sebagai pemegang saham VOC.
Sehingga, untuk menjaga komoditas ini pada 1725 VOC meski mengeluarkan
peraturan hak monopoli perdagangan kopi hanya pada VOC semata. Tak seperti
gula, komoditas lain yang di masa itu juga dikembangkan, permintaan dalam negeri
atas kopi pada masa itu tidak begitu signifikan, karenanya para petani dan
pekerja kopi yang rata-rata pribumi tidak sanggup memberikan perlawanan pada
VOC yang secara sepihak menetapkan harga atas kopi.
Di masa setelah masa
terpuruknya VOC akibat buruknya tata kelola dan praktek korupsi akut yang
menjangkiti birokrasinya, kopi menjadi komoditas yang ditekan untuk Pemerintah
Hindia Belanda mengisi pundi-pundi kas yang kosong. Peran kopi menjadi teramat
penting bagi kas Belanda sejak Gubenur Johannes Graaf van Bosch.
Di masa itu, rencana
sistem tanam paksa (Cultuurstelsel)
diterapkan. Kebijakannya antara lain ialah mewajibkan setiap petani untuk
memberikan 20 persen tanah garapannya untuk komoditas ekspor yang terdiri dari
kopi, tebu, tembakau, dan nila. Bagi mereka yang tidak memiliki lahan, wajib
memberikan 75 hari kerjanya dalam setahun untuk keperluan komoditas prioritas
ekspor.
Hasilnya memang memukau
dalam periode 1831-1871 sistem kerja paksa ini mampu menutup hutang Belanda
yang senilai 12 juta Gulden. Di periode yang sama, pemerintahan di Batavia yang
nyaris bangkrut akibat kelalaian di masa VOC bisa memberikan 823 juta Gulden
laba bersih ke kas Belanda.
Budidaya tanaman kopi
di Nusantara itu dengan mengikuti saran yang dilontarkan Nicolaas Witsen,
Gubernur Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) sekaligus Walikota Amsterdam,
yang memberikan rekomendasi tananam kopi dikembangkan di tanah koloni Belanda
yang terkenal sebagai tanah surga memang berhasil. Tananam kopi mempunyai nilai
ekonomi yang tinggi, sedangkan Jawa memiliki potensi jika kopi bisa tumbuh
dengan subur. Dua alasan ini yang pada akhirnya menjadi jawaban mengapa kopi
ditanam di Indonesia dan bertahan hingga sekarang.
Karakteristik tanah
yang berbeda dari satu wilayah dengan wilayah yang lain menjadikan kopi
Nusantara memiliki ciri khas yang berbeda di tiap-tiap wilayah. Keunggulan ini
acapkali diperingkas dengan adagium: benih boleh sama jika ditanam di tanah
yang berbeda hasilnya pun berbeda.
Dari ujung Sumatera
hingga ujung Papua tercipta kopi yang berbhinneka rasanya. Di antaranya mampu
memberikan kopi spesial yakni Aceh Gayo, Sumatra Mandhailing, Lintong,
Sidikalang, Java Ijen, Java Raung, Kintamani, Bajawa Flores, Robusta Lampung,
Toraja, dan masih banyak lagi daerah yang menghasilkan kopi istimewa, hingga
Kopi Papua yang dihasilkan petani kopi di Wamena.
Satu lagi, tidak
lengkap rasanya bila berbicara kopi Indonesia tanpa membahas Kopi Luwak, kopi
yang dianggap sebagai “The most expensive coffe in
the world.” Kopi Luwak ini sebenarnya kopi yang telah melewati
proses fermentasi di perut binatang luwak. Di berbagai daerah yang memiliki
pertanian kopi hampir selalu menyediakan produk khusus Kopi Luwak. Kopi ini
masih menjadi nomor satu di dunia bagi penikmat kopi sejati. Dari segi harga pun
kopi luwak juga teristimewa dari beragam jenis kopi di dunia perkilogramnya di
pasaran dunia dibandrol berkisar US$220-1.350.
Dari kopi kita bisa
mengenal Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. Dari ujung Aceh hingga Papua kita
memiliki ke-Bhinneka-an jenis kopi. Namun hal itu tidak pernah menjadi pemisah
antara masing-masing identitas kedaerahan. Kopi di meja dan kretek di tangan,
ragam etnis, suku, agama, dan antar golongan bertemu dan berbincang-bincang di
warung kopi. Barangkali, itu sebenar-benarnya Indonesia kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar