Pernyataan itu keluar dari bibir “aku”
untuk mengomentari menu baru yang diracik Ben. “Aku”, yang kemudian diketahui
bernama Jody, beserta Ben ialah dua sahabat yang mengelola kedai kopi yang
hadir dalam cerpen Filosofi Kopi yang ditulis Dewi Lestari (Dee).
Ben merupakan peramu
kopi yang sejak lama tergila-gila dengan kopi. Ia sampai berkeliling dunia meski
dengan bahasa yang pas-pasan untuk
berkonsultasi dengan para pakar kopi. Ia juga dikisahkan mencari racikan paling
pas untuk membuat aneka menu kopi. Jody tak paham mengenai kopi, yang ia punya
hanya ilmu administrasi serta duit dari tabungannya untuk modal usaha.
Begitulah dua sahabat
ini kemudian patungan untuk mendirikan usaha kedai kopi. Mereka sepertinya
hanya berdua saja dalam mengelola kedai, karena tak diterangkan jika ada
pekerja lain selain mereka di kedai kopi. Meski hanya berdua, itu tak menghalangi
semangat mereka.
Ben yang bertugas
mengatur segala hal mengenai kopi, juga menciptakan
pengalaman yang tersaji
dalam setiap detail pernak-pernik di kedai kopi. Ia menjadi pusat, dan aksi
akrobatiknya dalam penyajian kopi selalu menarik perhatian pengunjung. Sedang
Jody selalu berada di belakang meja kasir dan tak pernah lepas dari mesin
hitung.
Tak diketahui tahun
berapa kedai itu didirikan. Hanya saja kedai itu terus berkembang. Setahun
lebih “Kedai Koffie: Ben & Jody” berjalan. Ben mempunyai inisiatif
memasukkan pengalaman ngopi dalam
setiap jenis kopi yang dihidangkan.
Ben selalu berkisah
mengenai kopi dengan semangat. Tentang cappuccino
misalnya, “Kopi ini membutuhkan standar
penampilan yang tinggi, untuk orang dengan karakter menyukai kelembutan sekaligus
keindahan,” terang Ben. Jody memperhatikan tingkah Ben dalam memberikan
pengalaman ngopi. Jody melihat seorang
perempuan tertawa kecil gara-gara penjelasan Ben. Tentang kopi tubruk Ben
memberi penjelasan, cara penyajian ini tidak peduli penampilan, kasar,
membuatnya pun cepat, seolah-olah tak membutuhkan skill
khusus. “Tapi, tunggu sampai Anda mencium aromanya.”
“Dia tidak sekedar
meramu, mengecap rasa, tapi juga merenungkan kopi yang dia buat. Ben menarik
arti, membuat analogi, hingga terciptalah satu filosofi untuk setiap jenis
ramuan kopi,” terang Jodi, seputar kerja Ben.
* * *
Kedai Ben dan Jody
merupakan kedai sederhana yang terletak di Jakarta. Namun meski sederhana,
kedai mereka adalah kedai idealis. Konsep ‘idealis’ ini terlihat dari cara
kerja Ben yang menyiapkan secara detail terkait pernak-pernik dekorasi, pilihan
gelas, cangkir, poci, semuanya diperhitungkan secara matang. Singkatnya,
pelanggan haruslah mendapat pengalaman ngopi yang unik dan menyenangkan.
Pemberian kisah dalam
setiap jenis kopi yang dihidangkan cukup menarik perhatian pelanggan. Kedai
Koffie Ben & Jody berganti nama menjadi Filosofi Kopi: Temukan Diri
Anda di Sini. Memang tak ada penjelasan apakah terjadi perdebatan
sebelum proses pergantian nama, sebagaimana biasa terjadi dalam usaha patungan,
atau Jody memang telah menyerahkan sepenuhnya seputar kopi pada sahabatnya.
Jodi menuturkan jika
pergantian nama dan tagline membuat
kedai kopi mereka semakin populer. Kedai kopi mereka makin ramai dikunjungi,
entah oleh penikmat kopi, mereka yang sekadar coba-coba, hingga mereka yang
dikatakan penggila filsafat yang hendak berbincang dengan Ben tentang makna
kopi yang diminum.
Suatu malam setelah
melewati setahun kedai kopi. Dua sahabat ini berbincang. Mereka kembali
mengenang perjalanan kedai kopi kesayangannya itu. “Kita akan kaya raya?” Jody
bertanya, ketika sahabatnya menjelaskan perkembangan kedai. “Belum tentu. Tapi,
semua karakter dan arti kehidupan ada di sini,” jawab Ben.
Filosofi Kopi baru
mendapatkan tantangan ketika seorang lelaki yang berusia sekitar 30 tahunan,
dan tak disebutkan namanya, datang ke kedai mereka. Ia hendak meminum kopi
dengan rasa sempurna, sesuai dengan karakternya. Ben memintanya melihat-lihat
dahulu daftar menu yang tersedia. Lelaki itu masih belum puas. Tidak tersedia
kopi yang sesuai harapan.
Lelaki ini berusia di
bawah 40 tahun dan bekerja sebagai importir mobil. Ia termasuk pebisnis paling
berpengaruh, dan istrinya artis cantik yang sedang berada di puncak karier.
Maka tak heran, ia ingin kopi yang menghadirkan rasa sempurna seperti hidupnya
yang tak kurang satu pun. Sempurna. Ketidakpuasan lelaki ini yang kemudian
membuatnya memberikan tantangan pada Ben untuk membuat rajikan kopi dengan rasa
tanpa cacat.
Ben menyanggupi.
Pertaruhannya memang sepihak. Jika gagal ia tak perlu mengeluarkan apa-apa,
namun bila berhasil membuat rajikan kopi sesuai tantangan ia mendapatkan
imbalan sebesar 50 juta rupiah. Ben yang dikisahkan sebagai barista terandal di
Jakarta pun kian bersemangat menjawab tantangan.
Sejak malam itu Ben
bekerja lembur. “Sahabatku bermutasi menjadi versi lain dari dokter Frankeinstein.
The Mad Barista,” kata Jody. Ben
mengabiskan malam, setelah jam kerja usai, untuk membuat racikan kopi yang
sempurna. Sebagai orang yang tertarik dengan kopi, Ben sampai melupakan untuk
merawat diri, dan pipinya makin cekung karena kurang istirahat.
Tetapi usaha Ben
terbayar. Ia menemukan padu padan kopi yang dirasa-rasa paling sempurna dari
segala jenis kopi terbaik yang pernah diminumnya. Ben dengan tak sabar
memberikan kabar bahagia ini pada Jody, orang pertama yang mencicipi kopi
dengan rasa sempurna. Ia menghubungi Jody dan memintanya untuk datang ke kedai
kopi meski hari telah larut malam.
“Hmmm… ini… Ben, kopi ini
sempurnaaa!” tukas Jody, saat pertama kali mencicipi kopi.
Jody menjabat tangan
sahabatnya. Setelah meluapkan kebahagian, dua sahabat ini menjalankan ritual
kelahiran racikan kopi baru di Filosofi Kopi. Ben’s
Perfecto, Ben memberikan nama.
Tak ada yang menyangkal
Ben’s Perfecto sebagai kopi yang
sempurna. “Selamat. Kopi ini perfect.
Sempurna.” ujar lelaki pemberi tantangan. Lelaki tanpa cacat ini memenuhi janji
dengan memberikan selembar cek. Sebagai balasannya Ben menyerahkan sepotong
kartu yang menandai karakter Ben’s Perfecto.
“Sukses adalah Wujud Kesempurnaan Hidup.”
* * *
Tak diragukan lagi Ben
mempunyai kemampuan dan pengetahuan mengenai kopi. Ia dikabarkan telah
berkeliling sejumlah kota di beberapa negara untuk bertemu para pakar kopi.
Bila Ben mengatakan kopi yang dibuatnya ialah kopi paling sempurna di dunia,
tentu tidak ada yang meragukan. Itu pula pendapat para pengunjung kedai
langganannya.
Tapi adakah kopi yang
paling sempurna, bahkan paling enak di dunia ini? Pertanyaan ini yang kemudian
menggiring kisah dalam cerpen yang ditulis pada 1996.
Filosofi Kopi baru buka
saat itu. Ben dan Jody menerima pengunjung pertama seorang bapak paroh baya.
Bapak yang tak disebutkan namanya pula ini memesan kopi terserah, asal yang
paling enak. Mendengar kata ‘paling enak’ Jody meminta Ben meracikkan secangkir
Ben’s Perfecto. Kopi paling enak
pun disajikan, setelah dicicipi Ben tak sabar mendengarkan pendapat tamunya
yang satu ini.
“Lumayan,” jawab bapak
itu singkat. Mereka heran. Biasanya hanya ada puja puji ketika pengunjung
mencicipi Ben’s Perfecto. Sekarang hanya ada
kata “lumayan” yang diucapkan dengan dingin.
Setelah dipaksa bapak
ini akhirnya mengaku kalau pernah meminum kopi yang lebih enak dari Ben’s Perfecto. Meskipun,
menurutnya, tak jauh beda dengan kopi paling enak di Filosofi Kopi. Mendengar
ada kopi yang lebih enak, utamanya Ben, tertarik untuk mendapatkan informasi
lebih lanjut lagi.
Ben akhirnya
mendapatkan keterangan lokasi kopi yang lebih enak dari kopi bikinannya. Maka,
ia pun memutuskan berangkat siang menuju lokasi kopi yang katanya lebih enak
dari Ben’s Perfecto. Perjalanan
mengantarkan dua sahabat dari Jakarta ini menuju sebuah desa di pedalaman Jawa
Tengah.
Mereka menuju warung
Pak Seno yang menjual kopi tiwus. Kopi yang disebut oleh sang bapak paruh baya
sebagai kopi yang lebih enak ketimbang Ben’s Perfecto.
Kopi ini dipanen dari bukit kecil yang terletak di pekarangan rumah Pak Seno.
Ben dan Jody memesan kopi tiwus. Ben lebih dahulu menegak kopinya, kemudian
Jody. Mereka mendapatkan sensasi rasa yang aneh. Satu gelas tandas, mereka pun
tambah lagi.
Kopi tiwus, nama ini
diambil dari anak Pak Seno yang telah mati dan sering berujar “tiwus-tiwus”.
Meski tak mengalami perlakuan khusus, kopi ini mampu menghadirkan
bermacam-macam sensasi rasa bagi peminumnya.
Ben mengaku kalah. Ia
malu karena sudah bersikap pongah dengan memberi label kopi paling enak pada Ben’s Perfecto. Ia pun meminta Jody
untuk memberikan lembaran cek sebesar 50 juta rupiah itu kepada Pak Seno. Jody
enggan melakukan perintah sahabatnya. Sebagai pengusaha, ia sudah membuat
perencanaan pengembangan usaha Filosofi Kopi. Persekutuan dua sahabat ini
akhirnya retak. Ben menyerahkan pengelolaan kedai kopi pada Jody. Setelah itu
Ben hilang tak tentu rimba.
Cerpen ini memang
selesai sampai disana. Dee memberikan ‘pelajaran’ pada Ben, seorang barista
terandal di Jakarta yang merasa telah menciptakan kopi paling enak di dunia.
Seperti kata Dee, dalam kisah lain dalam buku kumpulan cerpen yang sama,
”Dibutuhkan sebelangga susu untuk dirusak setitik nila.” Dan, setitik nila yang
dihadirkannya ialah warung kopi di sebuah desa di pedalaman Jawa Tengah.
Barangkali karena di desa kopi menjadi tak berharga sekaligus menjadi sangat
berharga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar