Kopi sebagai medium untuk menjalin
persaudaraan sekaligus mengakhiri perselisihan.
Seorang kawan—dia seorang Batak—pernah
bercerita tentang adat istiadat di tempatnya. Menurutnya, jika ada dua orang lelaki
yang sedang bertengkar dan kau ingin mengidentifikasi apakah keduanya masih
melanjutkan perselisihan atau sudah berdamai, coba tanya: apakah dua orang
tersebut sudah berada di satu meja sembari minum tuak.
Kalau jawabannya adalah iya, dapat dipastikan bahwa pertikaian telah
usai dan mereka bersepakat melupakan permasalahan. Yang barangkali perlu kautahu, kata kawan tadi, ucapan maaf tidak begitu diperlukan. Mereka lebih butuh bukti berupa perbuatan, yaitu dengan cara minum tuak bersama. Barangkali kawan tadi menggeneralisasi sebuah keadaan yang tidak semua Batak mengalaminya. Mungkin juga ceritanya bias gender. Tetapi, peristiwa berdamai tanpa sebuah kata maaf sungguh menarik.
Kalau jawabannya adalah iya, dapat dipastikan bahwa pertikaian telah
usai dan mereka bersepakat melupakan permasalahan. Yang barangkali perlu kautahu, kata kawan tadi, ucapan maaf tidak begitu diperlukan. Mereka lebih butuh bukti berupa perbuatan, yaitu dengan cara minum tuak bersama. Barangkali kawan tadi menggeneralisasi sebuah keadaan yang tidak semua Batak mengalaminya. Mungkin juga ceritanya bias gender. Tetapi, peristiwa berdamai tanpa sebuah kata maaf sungguh menarik.
* * *
Keluarga saya, lebih tepatnya saya
dengan kakak dan adik yang kebetulan semuanya lelaki, secara tidak sadar
menanamkan kebiasaan seperti di atas. Bedanya, kami tidak menggunakan tuak atau
minuman beralkohol lainnya. Adalah kopi yang menjadi media perdamaian di antara
kami ketika sedang bertikai.
Saya pernah bertengkar hebat dengan
adik. Saat itu adik sudah kuliah dan indekos. Sedang saya magang, kalau bukan
dianggap sudah bekerja. Saya rutin berkunjung ke indekosnya dan menginap
berhari-hari. Akibat pertengkaran itu, adik saya marah bukan kepalang kepada
saya. Saya pun tidak kalah berang kepadanya.
Ayah dan Ibu yang mengetahuinya hanya
bisa angkat tangan. Mereka berdua memang memberi ultimatum, tetapi tak ada dari
kami yang mematuhi. Maklum, kami sama-sama terlanjur besar dan terlalu susah
untuk menerima nasehat.
Tetapi, tak lama, saya merasa lelah.
Buat apa memperpanjang perselisihan, apalagi dengan saudara sendiri. Suatu pagi
saya menuju ke indekosnya. Mengetahui dia masih terlelap, saya menjerang air
lalu membuat dua cangkir kopi. Satu untuk adik. Satu untuk saya sendiri.
Beberapa saat kemudian adik bangun dan mendapati saya sedang duduk membaca
komik, menunggunya untuk ngopi bersama. Selanjutnya, kami kembali saling
bercanda dan berbicara seperti tak pernah bertengkar.
Pertikaian yang lebih besar pernah
terjadi antara saya dengan kakak, hingga perang dingin berlangsung
bertahun-tahun. Saya sudah lupa bagaimana mulanya. Pokoknya saya enggan menyapa
kakak. Jika saya tidak salah ingat, saat itu saya sudah duduk di bangku SMA. Usia
di mana saya sudah terlalu “tua” untuk menganggap pertengkaran sebagai angin
lalu, tetapi masih terlalu goblok untuk menyadari kesalahan sendiri.
Kali ini, ayah dan ibu tidak mengetahui
bahwa kami masih memendam bara. Mereka tahu memang, bahwa kami pernah berkelahi
demikian hebat hingga sukar dihentikan. Namun tidak adanya perkelahian susulan
dianggap perselisihan sudah berakhir. Apalagi setiap tahun kami melalui Idul
Fitri dan melaksanakan tradisi saling bermaafan. Rupanya perayaan itu tetap
tidak mengakhiri pertikaian.
Saya memang memiliki sifat yang unik,
sifat keras kepala dan menyimpan dendam hingga membatu. Perang dingin
berlanjut. Hingga tibalah saat di mana saya mencukur ego, mengadakan
rekonsiliasi, dan melangkah dari masa lalu.
Setelah lulus kuliah, kakak saya sempat
bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik di Karawang. Hal tersebut memaksa dia
untuk tinggal di kota itu dan tidak pulang hingga beberapa waktu lamanya. Saat
itu saya mengantar ke stasiun kereta api seorang kawan yang akan pergi ke
Yogyakarta. Kebetulan, kereta api yang memulai perjalanannya dari Jakarta itu
mengangkut kakak saya. Dia turun dari kereta api, mengedarkan mata, dan
pandangan kami bertemu pada satu titik. Momen saling diam pun tak terhindarkan.
Kikuk tak tahu apa yang harus dilakukan. Untunglah kakak segera tahu cara
menguasai keadaan.
Dia menyapa saya, meski awalnya dengan
sedikit dingin. Berbasa-basi sebentar. Setelahnya, sebuah warung kopi menjadi
saksi bagaimana dua orang saudara yang bertahun-tahun tak saling sapa larut
dalam percakapan.
Kini ngopi bersama menjadi adat
kami bertiga. Setiap kali saya mudik saya mengajak kakak dan adik pergi ke
warung manapun yang menyediakan kopi. Entah itu angkringan, kafe, atau rumah
makan. Kakak saya, yang sekarang sudah beristri dan memiliki anak, selalu
menyempatkan menemani ngopi ketika saya sedang mudik. Tentu saja, kali
ini tidak didahului dengan perselisihan.
* * *
Untuk sebab yang sentimentil, ngopi
bersama dengan kakak dan adik membuat saya selalu teringat wajah haru ibu. Tiga
bersaudara yang dulu hampir setiap saat bertengkar, selalu menyusahkan orang
tua, sekarang akrab seperti tanpa sekat.
Seperti teman sepermainan sebaya, hingga
kini kami masih sering bepergian bersama—bertiga saja. Bahkan, kali terakhir
saya mudik dan ngopi bersama kakak dan adik, ibu saya mengirimkan pesan
singkat ke ponsel adik, meminta kami berdiskusi, membantu menemukan solusi atas
permasalahan yang sedang beliau alami.
Ah… Rupanya secepat itu ya, Bu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar