"Orang yang mencintai
kopi, akan tetap mencintai kopi, apapun kualitasnya. Berbicara soal kopi,
adalah berbicara mengenai manusia. Dan manusia itu adalah yang sangat menarik
buatku".
(Brandon Loper,
sutradara A Film About Coffee)
Demi menonton film A Film About Coffee (selanjutnya
saya sebut sebagai A Film), saya
rela menembus kemacetan Jakarta di akhir pekan. Biasanya saya hanya akan diam
di rumah, membaca buku, dan menikmati istirahat sehari penuh. Maklum, jadi
buruh di kota kejam macam Jakarta harus pandai-pandai mencari waktu untuk
rehat. Agar tak mati konyol didera lelah.
Namun film dokumenter
panjang pertama dari sutradara Brandon Loper ini berhasil menarik saya dari
kasur. Mandi. Dan membelah jalanan Jakarta. Apalagi ada iming-iming bahwa A Film ini hanya diputar terbatas,
dan Jakarta adalah kota pertama di Asia yang memutarkan film ini.
Pemutaran A Film merupakan salah satu
rangkaian acara dari helatan A Festival About Coffee yang diadakan di sebuah
mal di Jakarta Selatan. Acara
ini sangat menarik. Ada
berbagai acara yang bisa diikuti selama dua hari penyelenggaraan. Mulai diskusi
dengan barista; ngobrol tentang specialty coffee; hingga menonton
film. Acara ini gratis sepenuhnya.
A Film sudah menarik dari awal. Fragmen kopi disajikan. Warnanya yang hitam
pekat muncul dengan kualitas gambar yang mumpuni. Tiap mengingat hitam kopi,
saya selalu ingat pepatah Turki yang termahsyur itu: Kopi harus sehitam neraka,
sekuat kematian, dan semanis cinta. Aih.
Sejak fragmen awal itu,
saya langsung menebak kalau keseluruhan film ini akan sangat menarik. Benar
saja, Brandon berhasil menyajikan sebuah gambaran tentang kopi secara apik
dalam film berdurasi 67 menit ini. Brandon tak hanya bicara mengenai kultur
minum kopi. Tapi juga mempertontonkan bagaimana kopi bisa membantu sebuah desa
di Rwanda bangkit dari kekeringan. Atau bagaimana ketatnya kompetisi barista
internasional. Juga tentang seorang Jepang yang tergila-gila dengan espresso.
Secara umum, A Film adalah gambaran tentang
dunia kopi yang kompleks. Brandon menggambarkan kalau perkebunan kopi di daerah
terpecil di Rwanda atau Honduras, berperan sangat penting bagi beberapa kedai
kopi di San Fransisco, New York, Los Angeles, hingga Tokyo.
A Film memang mengambil tempat di beberapa kawasan. Mulai Honduras, Rwanda,
hingga beberapa kota metropolis tempat para pecinta kopi menemukan firdaus
dengan kopi-kopi terbaik dari seluruh penjuru dunia.
Suasana pemutaran A
Film About Coffee. Film ini bercerita tentang bagaimana kopi bisa membantu
sebuah desa dari kekeringan. Atau bagaimana ketatnya kompetisi barista
internasional. Juga tentang seseorang yang tergila-gila dengan espresso.
Ada beberapa adegan
yang sangat menarik sekaligus menghadirkan ironi dalam film ini. Seperti
misalnya tentang petani kopi di Honduras yang diajak minum espresso yang dibuat dari biji kopi
yang mereka hasilkan.
“Ini mungkin pertama
kali mereka, para petani kopi itu, meminum espresso dari
kebun mereka sendiri,” kata seorang dari tim A Film.
Film ini juga membuat
saya tahu tentang beberapa orang menarik di dunia kopi. Salah satunya adalah
Katsu Tanaka. Pria ini berhasil membuat beberapa penonton tertawa dengan
celetukan-celetukannya yang lucu dan segar.
“Espresso itu bukan sekadar
minuman…” katanya sembari terdiam sejenak, ”It’s a drug!”
Tanaka memang
tergila-gila dengan espresso. Pria
asal Jepang yang pernah tinggal di New York selama 18 tahun ini memutuskan
kembali ke negaranya dan membuka kedai kopi kecil yang diberi nama Bear Pond
Espresso.
Sama seperti kebanyakan
orang Jepang lain, Tanaka sangatlah disiplin dan memberi perhatian besar kepada
hal kecil. Ia, misalkan, menutup kedai kopinya pada jam 2 siang. Ia beralasan
pada pukul 2 siang sudah terlalu banyak orang yang datang.
“Jadinya saya tak bisa
membuat kopi yang konsisten.”
Tanaka juga merupakan
satu-satunya barista di kedai kopi itu. Alasannya? Ia tak mau ada orang lain
membuat kopi di kedainya, agar rasa yang dihasilkan tetap sama. Selain itu,
karena Tanaka tak mengizinkan orang lain menyentuh La Marzocco, mesin espresso kesayangannya.
Dari A Film itu lah, saya jadi mencari
tahu tentang Katsu Tanaka. Dan ia memang orang yang sangat menarik. Ada
beberapa artikel yang pernah membahas tentang Tanaka, dan ia punya pemikiran
yang sangat menarik.
“Secangkir kopi adalah
perpaduan antara kepercayaan dan nasib. Biji kopi itu kepercayaan. Sedangkan
espresso adalah nasib. Karena seorang barista dapat mengubah nasib biji kopi.”
Specialty Coffee dan Direct Trade
The idea of specialty
coffee is transparency. The facts of the coffee. Knowing where it comes from.
(Narator di A Film About
Coffee)
Specialty coffee sudah menjadi fenomena sejak beberapa tahun belakangan. Termasuk di
Indonesia. Sebelum marak fenomena ini, pengunjung kedai kopi hanya bisa memesan
kopi tubruk, atau aneka varian kopi. Seperti cappucino, machiato, dan banyak lain. Pembeli
tak bisa memilih biji kopinya. Pun tak tahu kopi yang ia minum berasal dari
mana.
Sekarang dengan
maraknya specialty coffee, orang bisa
memilih mau minum kopi apa. Karena tiap kopi punya cita rasa masing-masing.
Apalagi sejak maraknya kedai kopi yang menyajikan specialty
coffee. Di Jember, kampung halaman saya, bahkan kedai kopi skala
kecil pun turut merayakan gempitanya specialty coffee
ini. Mereka menyajikan aneka biji kopi dari berbagai daerah. Pengunjung tinggal
memilih.
Di Yogyakarta, ada
kedai kopi yang jadi favorit banyak orang. Klinik Kopi namanya. Baristanya
hanya satu orang: Mas Pepeng. Ia fasih berbicara mengenai kopi. Di meja,
terdapat banyak toples yang berisi biji kopi dari berbagai daerah di Nusantara.
Pengunjung tinggal memilih. Nanti Pepeng, yang berdiri dengan setia di belakang
meja, akan menggerinda biji itu, hingga menyeduh dengan air panas. Kalau
pengunjung ingin bertanya tentang biji kopi, ataupun bagaimana rasa kopi tiap
daerah, Mas Pepeng akan dengan senang hati menjelaskan dan berbagi ilmu.
Mas Pepeng juga sedang
menggiatkan direct trade, alias membeli kopi
langsung dari petani kala panen tiba. Sekarang ia sedang gigih melakukan
pendampingan terhadap petani kopi di lereng Merapi dan di beberapa daerah lain.
Direct trading bisa dibilang adalah salah satu bentuk perdagangan yang adil. Bentuk ini
sudah diusahakan sejak bertahun lalu. Diharapkan bentuk perdagangan ini bisa
membantu semua pihak yang berkepentingan.
Dalam sistem ini, para
pembeli tak sekadar membeli biji kopi. Melainkan juga aktif melakukan
pendampingan terhadap petani kopi. Mengajarkan para petani kopi tentang
budidaya kopi yang baik. Juga memastikan alur proses sesuai dengan standar
pengelolaan perkebunan kopi yang baik. Dari sisi petani, mereka mendapat harga
yang jauh lebih baik. Karena direct trade ini
memotong pihak ketiga, alias makelar.
Mengenai specialty coffee dan direct trade ini pernah dibahas
panjang lebar oleh penulis Peter Giuliano, direktur Specialty Coffee
Association of America. Ia dengan tegas mengatakan bahwa jika berbicara
mengenai specialty coffee haruslah juga
membicarakan tentang kesejahteraan petaninya.
Direct trade membawa hubungan antara petani-pembeli ke dalam tahap selanjutnya. Bukan
lagi sekedar produsen-pembeli. Melainkan sudah jadi mitra. Artinya ada hubungan
simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan. Petani bisa mendapat ilmu tentang
proses pengolahan kopi, juga bisa menjual kopinya dengan harga yang lebih baik.
Sedangkan pembeli mendapatkan kopi langsung dari produsennya, dengan harga yang
lebih murah ketimbang beli dari pihak ketiga.
Dalam A Film, Brandon juga memberikan
perspektif tersebut pada para penonton. Bahwa pembeli kopi dan petani kopi
harusnya memang saling menguntungkan. Ia memberi contoh bagaimana sebuah
perusahaan biji kopi membangun saluran air di Rwanda agar para penduduk tak
perlu lagi jalan belasan kilometer demi mendapatkan air.
Memang pola pendampingan
dan hubungan kemitraan ala direct trade ini
perlu waktu yang tak sebentar. Koperasi Klasik Beans, salah satu perusahaan
pembeli biji kopi yang menerapkan direct trade pada
petani kopi di kawasan Jawa Barat, mengaku perlu 3 tahun untuk membenahi sistem
budidaya dan proses pasca panen sebelum layak untuk pasar kopi internasional.
Tapi dari A Film, kita sama-sama bisa belajar
bahwa kopi seharusnya tak sekadar bicara tentang rasa. Tapi juga tentang
kesejahteraan petani kopi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar